memuat…
Mereka masing-masing menyebutkan keutamaan ilmu dan kefakihannya rekannya. Ilustrasi: AI
Malam itu, Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz tidak bisa tidur. Hilang rasa kantuknya. Beliau tidak mampu memejamkan mata. Resah dan gelisah hatinya. Di saat malam yang dingin itu, di Damsyik pikiran beliau sedang disibukkan dengan urusan pemilihan hakim Bashrah.
Harapannya adalah agar dapat menegakkan keadilan di tengah umat manusia, yang akan menghukum dengan hukum Allah Ta'ala yang diterapkan tanpa gentar dan gila pujian.
Pilihannya jatuh pada dua orang yang memandangnya bak kuda balap kembar dalam ilmu fiqih. Keduanya tegas dan kukuh dalam kebenaran, pemikiran-pemikirannya yang cemerlang dan tepat dalam pandangan. Jika diperoleh satu keunggulan tertentu dari salah satu keduanya, ia memiliki keunggulan lain yang mampu mengimbanginya.
Keesokan harinya dia mengundang walinya di Irak yang bernama Adi bin Arthah yang ketika itu berada di Damaskus. “Wahai Adi, panggillah Iyas bin Mu'awiyah al-Muzanni dan al-Qasim bin Rabi'ah al-Haritsi. Ajaklah keduannya membicarakan perihal pengadilan di Bashrah, lalu pilihlah salah satu dari keduanya,” titah Umar bin Abdul Aziz kepada Adi bin Arthah.
“Saya mendengar dan saya taat wahai Amirul Mukminin,” jawab Adi.
Akhirnya Adi bin Arthah mempertemukan antara Iyas dan al-Qasim lalu berkata, “Amirul Mukminin memintaku untuk mengangkat salah satu dari…