Tidak ada orang yang suka diajak bicara—orang lebih suka merasa menjadi bagian dari percakapan. Ketika saya mengingat kembali hari-hari saya mengajar siswa kelas 8, saya ingat betapa sulitnya menciptakan ruang di mana dialog nyata terjadi daripada sekadar momen “duduk dan mendengarkan”. Saya ingin siswa saya merasa didengarkan dan dihargai, sesuatu yang tidak selalu terjadi di ruang kelas—atau di tempat kerja, dalam hal ini. Sebuah studi baru menegaskan apa yang sudah kita ketahui: Kepemimpinan bukanlah tentang meneriakkan perintah. Ini tentang berhubungan, berbicara dengan orang-orang, dan menciptakan perubahan yang berarti melalui interaksi.
Apa itu kepemimpinan dialogis?
Studi yang dilakukan oleh Shiza Khaqan dan Gisela Redondo-Sama ini menyoroti kekuatan kepemimpinan dialogis (DL) untuk meningkatkan inklusivitas di sekolah dan meningkatkan pembelajaran siswa. Ini semua tentang para pemimpin yang terlibat dalam percakapan terbuka dan pengambilan keputusan kolaboratif, bukannya menyerahkan keputusan dari atas. Kepemimpinan dialogis berfokus pada kesetaraan, inklusi, dan bekerja sebagai komunitas untuk mengambil keputusan bersama. Inilah yang membedakan kepemimpinan dialogis dengan metode kepemimpinan lainnya:
- Komunikasi terbuka: Kepala sekolah dan guru secara terbuka berbagi ide, menciptakan dialog bolak-balik yang mendorong kemajuan nyata.
- Pengambilan keputusan kolaboratif: Setiap orang mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya, sehingga proses menjadi lebih inklusif dan hasil yang diperoleh lebih kuat.
- Fokus pada kesetaraan: DL menekankan keadilan dan…